Selasa, 10 Mei 2016

Paseban Cigugur akan Digugat Ahli Warisnya

Raden Jaka Rumantaka menggugat kepemilikan tanah yang di kuasai pasangan suami istri KS dan MI di pengadilan negeri Kuningan. Tidak akan berhenti di sana. Ia kini tengah memersiapkan bukti-bukti untuk melakukan gugatan terhadap penguasaan paseban tri panca tunggal yang kini di tempati Pangeran Djatikusumah di Kelurahan/Kecamatan Cigugur.
Paseban tri panca tunggal, selama ini merupakan pusat kegiatan paguyuban cara karuhun urang (Packu). Di tempat itu setiap tahun, sejak Tahun 1996 digelar ritual seren tahun bertepatan dengan 22 Rayaagung. Sengketa kepemilikan tanah itu berlansung sejak 1955 sampai 1970. Saat itu, paseban didiami Ratu Siti Djenar Alibassa yang merupakan ahli waris dari Madrais.
“Saya bersama dengan saudara-saudara kandung, akan menggugat gedung Cagar Budaya Paseban yang selama ini dikuasi oleh adik ibu saya yang dilahirkan dari istri kedua (selir) kakek saya,” tegas anak almarhum Ratu Siti Djenar Alibassa, Raden Jaka Rumantaka, sebelum mengikuti sidang gugatan di Pengadilan Negeri Kuningan.
Alasan Raden Jaka melakukan gugatan terhadap gedung Paseban karena tempat itu merupakan peninggalan almarhum Madrais. Ketika kakeknya masih hidup, adik ibunya tersebut yang tadinya tinggal di Cirebon hanya disuruh untuk membantu dan mendampingi Ratu Siti Djenar Alibassa dalam mengelola paseban sehingga ia pun telah diberikan tanah sebelah selatan untuk dibangun rumahnya tetapi tidak dilanjutkan.
“Maka dari itu, sudah sewajarnya jika saya bersama anak-anak ibu saya yang lainnya menggugat gedung paseban tersebut karena dulunya memang dikuasi oleh ibu saya sesuai dengan perintah kakek. Tetapi kenyataannya sekarang, malah dikuasi oleh anak dari istri kedua kakek saya,” ketusnya.
Namun sebelum hal tersebut dilakukan, sambung Raden Jaka, langkah awal yang tengah dilakukannya adalah menggugat pasangan suami istri asal warga Garut yang menempati tanah warisan almarhum Ratu Siti Djenar Alibassa yang merupakan pemberian dari almarhum Pangeran Teja Buana Alibassa seluas 224 meter persegi atau 16 bata di Blok Mayasih Kelurahan Cigugur.
“Tanah yang kini dikuasi oleh pasangan suami istri asal Garut tersebut, awalnya ada dugaan peran adik ibu saya yang menyerahkan kepada mereka padahal tanah itu jelas-jelas merupakan warisan dari kakek saya. Selain itu, saya pun memiliki bukti-bukti surat kepemilikan  yang sah yang sebelumnya atas nama almarhum Pangeran Teja Buana Alibassa berganti menjadi almarhum Ratu Siti Djenar Alibassa dan kini atas nama saya selaku anaknya Raden Jaka Rumantaka.***

Mengungkap Asal Usul Agama Sunda Wiwitan

Sunda wiwitan adalah agama. Maka dalam pandangan Islam dia adalah kafir karena posisi agamanya itu diluar Islam. Disebut pula agama Cigugur karena lahir dan berpusat di Cigugur Kuningan. Ada hal yang perlu diungkap, apakah munculnya agama Sunda wiwitan ada kaitannya dengan seorang tokoh yang namanya Madrais atau tidak? Karena Sunda wiwitan erat kaitannya dengan Madrais, bahkan ada juga yang menyebut agama Madrais atau agama Jawa Sunda sebagaimana penjajah Belanda menyebutnya kepada kelompok Madrais ini.
Mari kita ungkap riwayat hidup Madrais yang nama lengkapnya Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, Madrais sebenarnya nam pesantren yang dia dirikan di Cigugur yang sekarang menjelma menjadi Paseban, nama Madrais adalah kependekan dari Muhammad Rois. Dari berbagai informasi, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Ayahnya pangeran Alibassa cucu dari pangeran Sutajaya Upas  menantu pangeran Kasepuhan  keturunan ke-8 dari Sunan Gunung Jati. Karena keadaan genting dikejar-kejar Belanda maka oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemudian  diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemudian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat padahal Belanda khawatir dengan pengaruh Madrais yang semakin meluas dalam membangun perlawanan kepada Belanda melalui ajaran Islam yang disebarkannya. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan Islam kepada rakyat  dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda komunitasnya adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Madrais didalam membentuk komunitas  yang diwadahi dengan pesantren, maksudnya membina masyarakat untuk mandiri dan memiliki keberanian untuk menentang penjajah dan mengajarkan Islam sebagai pokok ajarannya. Hanya strategi dia supaya kaum penjajah tidak curiga maka ajaran Islam  [Qur’an dan hadits] disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra. ka dst. Sehingga komunitas Madrais disebut agama Jawa Sunda yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, pada waktu itu ajaran Madrais adalah Tauhid hanya Allah yang wajib di sembah.
Sepeninggal Madrais tahun 1939 kominitas ini dilanjutkan dipimpin oleh putranya bernama pangeran Tedja Buana Alibassa sampai tahun 1958. Komunitas Madrais ini berubah dan dipandang sebagai aliran kepercayaan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, karena pangeran Tedja Buana mengajarkan Islam dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa-Sunda, yang dikenal sebagai agama Jawa Sunda. Hal ini merupakan kelanjutan metode Kiayi Madrais, kemudian dilanjutkan oleh Ratu Siti Djenar Alibassa puteri Raden Tedja Buana dari istri pertama karena pangeran Tedja pindah ke Cirebon.
Tahun 1964 oleh kelompok tertentu, komunitas Muslim yang mendapat julukan agama Jawa Sunda ini difitnah sebagai komunitas PKI (komunis). Dan kelompok Muslim lainnya terprovokasi dan menyerangnya. Akhirnya, komunitas keturunan Madrais ini terpecah menjadi 3. Pertama, ada yang tetap sebagai Muslim, tetapi kajiannya mengikuti Muslim lainnya yakni mengkaji Qur’an tanpa menggunakan aksara dan bahasa Jawa Sunda, karena dipandang tak usah pakai siloka lagi dalam mempelajari Islam karena sudah merdeka.
Kedua, ada juga yang masuk agama Protestan dan yang terbesar masuk agama Katolik, termasuk pangeran Tedja Buana dan keturunannya karena merasa takut mendekati kelompok Muslim lainnya yang terus mengejar, dan kalau tidak beragama takut oleh negara dimasukan kelompok komunis sebagai mana isu yang berkembang. Pada saat yang bersamaan, para misionaris Katolik berhasil memanfaatkan konflik yang terjadi. Mulai saat itu, Cigugur berubah menjadi kampung Katolik, lambat laun berdiri tegak gereja dan yang masuk Katolik semakin bertambah, bahkan kawin silang antara Muslim dengan katolik sudah terbiasa, yang akhirnya anak-anaknya ada yang Muslim ada pula yang katolik
Tahun 1970 kekuasaan Ratu Siti Djenar direbut paksa oleh Raden Djati Kusumah Alibassa, putra Raden Tedja Buana dari istri keduanya, tahun 1980. Djati Kusumah keluar dari Katolik dan mendirikan aliran bernama PACKU (Perkumpulan Aliran Cara Karuhun Urang). Tetapi, tahun 1982 dibekukan oleh KEJATI Jabar dengan SK pembekuan no.42 dan dinyatakan sebagai aliran sesat, setelah PACKU dibekukan Djati Kusumah mendirikan aliran AKUR  [Aliran Karuhun Urang], dan sekarang diganti menjadi Sunda Wiwitan yang menyatakan bukan aliran tetapi agama Sunda Wiwitan.
Untuk mempertahankan pengaruhnya, maka Djati Kusumah selalu mengkaitkan dengan Madrais dan seolah alirannya tersebut adalah kelanjutan dari ajaran Madrais, sehingga kalau dulu Madrais dicitra burukan oleh Belanda sebagai pendiri dan penyebar agama Jawa Sunda, dikarenakan ajaran Islam yang disampaikan dalam tulisan dan bahasa Jawa Sunda, kalau sekarang madrais dicitra burukan ooleh cucunya sendiri yang menyebutkan bahwa Madrais adalah  pendiri dan penyebar agama Sunda Wiwitan, dan berkelanjutan diteruskan oleh Djati Kusumah, sehingga masyarakat Muslim terutama sangat berpandangan negatif kepada Kiayi Madrais.
Kita mendengar bahwa Sunda Wiwitan ini adalah ageman (pegangan) kepercayaan masyarakat Baduy Kab. Lebak Banten, apakah ada kaitannya Sunda Wiwitan Djati Kusumah dengan Sunda Wiwitan masyarakat Baduy?
Dahulu, pada waktu Madrais hidup di Cigugur tegak pesantren dan tegak sebuah mesjid, tetapi sekarang pesantren dan mesjid itu lenyap dan di atasnya tegak sebuah bangunan namanya Paseban. Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu.
Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek Paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah, dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya Tahun Baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini, sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk diarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT, juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Di sinipun dibangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota, dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat pimpinan agama Sunda Wiwitan saat ini.
Hati-hati kaum Muslimin atas gerakan pemurtadan yang dilakukan oleh kafir sunda wiwitan dan mari kembalikan paseban untuk kembali menjadi pesantren dan mesjid dan tegaknya syi’ar Islam di Cigugur, yang sekarang dikuasai  agama Sunda Wiwitan dan Katolik.

Rabu, 17 Februari 2016

Penganut Sunda Wiwitan: Kami Tetap Islam


PENGANUT kepercayaan dan agama yang belum diakui pemerintah boleh semringah. Pasalnya, pemerintah akan membebaskan penganut kepercayaan itu untuk tidak mengisi kolom agama di E-KTP. Kebijakan itu diberlakukan sebagai bentuk penghormatan bagi kamu minoritas yang menganut kepercayaan.
Salah satu aliran kepercayaan yang ada di Tanah Air adalah Sunda Wiwitan. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak Banten, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok Sukabumi, Kampung Naga Cirebon, dan Cigugur Kuningan dan Kabupaten Bogor.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
 
 Berbagai sumber menyebut, ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia.
   
 Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut hindu atau Budha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.
   
 Akan tetapi, Sunda Wiwitan yang ada di Bogor, tepatnya di Kampung Adat Urug, Desa Urug, Kecamatan Sukajaya berbeda. Para penganutnya mengklaim Sunda Wiwitan di Bogor bukan agama atau kepercayaan, melainkan sebuah upaya pelestarian budaya. Itu diungkapkan pemangku adat Kampung Urug, Abah Ukat Raja Aya.
    
 Menurut Abah Ukat, makna wiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah permulaan atau awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain bahasa awal, atau bahasa sunda yang pertama muncul.
“Untuk agama, kami memeluk agama Islam. Di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kami Islam. Sehinga Sunda Wiwitan yang kami anut merupakan bahasa, serta tradisi dari leluhur yang kami jaga. Jadi beda Sunda Wiwitan di Kampung Urug, Bogor dengan Sunda Wiwitan di Banten. Di Banten itu agama Sunda wiwitan,” ucap pemangku adat generasi ke-11 tersebut.
    
 Lebih lanjut ia menuturkan, masyarakat di Kampung Urug seluruhnya memeluk agama Islam. Sementara ajaran Sunda Wiwitan yang berupa aturan dan norma tidak diubah atau dihilangkan.
“Tetap syukuran cuman beda bahasa saja. Sunda Wiwitan memanggil tuhannya dengan bahasa Karuhun. Dan itu hanya beda  beda bahasa saja, yang dituju cuman satu, Allah,” ucap pria yang sehari-hari mengenakan ikat kepala batik.
Kampung Urug berasal dari kata Guru yang dibaca secara terbalik. Abah Ukat Raja Aya menuturkan, asal mula Kampung Urug berawal di masa Kerajaan Pajajaran.
Kala itu, Prabu Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi meminta salah satu  putranya untuk menjadi yang tokoh di kampung tersebut. Kemudian diberilah nama Kampung Guru.
    
 “Dahulu namanya kampung Guru, dan ketika salah saeorang ulama besar di Mekkah kerap menyambangi kampung tersebut memberi nama kampung Urug yang berasal dari kata guru dengan dibaca terbalik,” tuturnya.
    
 Kampung Urug kerap menjadi tempat tujuan penelitian akademisi dari universiatas-universitas di Indonesia, termasuk UGM Jogjakarta. “Ini merupakan bukti bahwa Kampung Urug merupakan kampung Guru,” ucap Abah Ukat.
    
 Selain itu, kata dia, masyarakat Kampung Urug mengklaim sebagai turunan dari Prabu Siliwangi. Itu lantaran sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan Baginda Ratu Eyang Prabu Silwangi. “Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian,” tuturnya.
    
 Cerita atau sejarah yang dipahami Abah Ukat berasal dari kokolot yang selalu diceritakan setiap tahun pada saat perayaan Seren Patahunan. Perayaan itu sebagai sara syukur penduduk yang berprofesi sebagai petani.
“Ini menjadi tradisi yang masyarakat pegang, jadi untukseluruh kegiatan bertani dari menanam padi sampai menjadi nasi itu sesuai dengan apa yang dikatakan pemangku adat,” pungkasnya.
    
 Terpisah, peneliti aliran keagamaan, Resla menuturkan, perkembangan Sunda Wiwitan di Bogor termasuk kecil penyebarannya. Itu juga dilakukan secara sporadis. Setahu dia, kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis di Cigugur Kabupaten Kuningan.
    
 “Kondisi Bogor dulu dan sekarang sudah jauh berbeda, karena keberadaan masyarakatnya yang populis membuat kepercayaan dari nenek moyang, lambat laun tereduksi,” ujarnya kepada Radar Bogor (Grup JPNN) kemarin,
    
 Tak ada yang tahu pasti jumlah pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini. Tapi diperkirakan  jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlahnya bisa mencapai 100.000 orang.
    
 Menurut Resla pesebaran kepercayaan atau aliran keagamaan dewasa ini menghadapi tantangan yang luar biasa di masyarakat.  “Banyak yang mengira Sunda Wiwitan adalah agama. Tetapi kenyataannya ini adalah sebuah kepercayaan yang diduga sudah ada di kalangan masyarakat Sunda sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk,” jelasnya.
    
 Di sisi lain, wacana pemerintah memberi ruang kepada agama yang belum diakui rupanya sudah mendekati final. Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung langkah ini.  JK -sapaan akrab Jusuf Kalla- membenarkan bahwa nantinya penganut kepercayaan dan agama di luar enam agama yang diakui pemerintah bisa mengosongkan kolom agama di KTP. "Masih dibahas Kemendagri," ujarnya kepada wartawan akhir pekan lalu.
    
 Menurut JK, langkah itu merupakan penghormatan pemerintah pada pemeluk kepercayaan. Pasalnya selama ini pemerintah baru mengakui enam agama yakni Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Kong Hu Cu. Alhasil mereka terpaksa mengisi nama agama yang tidak sesuai kepercayaan yang mereka anut. "Kalau gak ada agama yang dia anut terus diisi apa coba," ujarnya.
    
 Dia menyontohkan, misalnya ada orang syiah atau penganut aliran kepercayaan lain mengurus KTP. Nantinya saat mengisi biodata mereka bisa melewati kolom agama. "Kosongin aja. Soalnya Syiah atau aliran kepercayaan kan belum ada di draf KTP," jelasnya.
    
 Pada bagian lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa usulan pengosongan itu belum final. Kedepannya Kemendagri masih melakukan pembahasan. "Itu kan dasarnya UU nomor 5 tahun 1969 tentang pengakuan agama. Tapi akan kami konsultasikan lagi," ujarnya.
    
 Sementara itu Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, masyarakat tidak perlu mencemaskan polemik kolom agama dalam KTP. Dia mengatakan Kemenag akan tetap mempertahankan keberadaan kolom agama dalam KTP.
    
 Lukman menuturkan keberadaan kolom agama penting sehingga jangan dihilangkan. "Status agama adalah sesuatu yang sangat penting. Baik dalam bernegara maupun ke masyarakat kita," kata Lukman.
Dia yakin jika maksud dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu hanya mengosongkan, bukan menghapus kolom agama.(all/ind/jp/d)

Jumat, 12 Februari 2016

Prabu Siliwangi Dan Kian Santang

Dalam kisah tradisional disebut banyak bahwa prabu siliwangi melarikan diri sebagai raja karena dipaksa masuk islam oleh anaknya kian santang, saat pajajaran runtag, benarkah kisah ini ?

Polemik Agama Sunda


1. Sangatlah berdosa kepada Ki Sunda jika yang mengaku jati dirinya Sunda, tapi malah mengingkari dan menistakan agama karuhun-nya sendiri, agama Sunda; seraya mengagungkan keyakinan budaya, keyakinan beragama, dan karuhun “bangsa asing” yang bukan miliknya Ki Sunda.
 Sungguh terpuji jika masih ada Rawayan Sunda yang dengan tegar dan tegas mau mendeklarasikan dan mewajibkan lagi agama Sunda menjadi anutan seluruh wangsa Sunda yang merasa dirinya seuweuh siwi karuhun Sunda yang berjiwa Sunda.
 Vitalitas budaya Sunda akan tumbuh subur jika orang Sundanya mau kembali kepada jati diri dan warisan budaya (culture heritage) karuhun-nya, sebagai tonggak merentang ke depan yang lebih gemilang.
 Kalimat pembuka tersebut saya kutip sepenuhnya dari leaflet yang diterbitkan secara resmi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Sebagai salah satu kutipan dari lembar kesimpulan makalah Anis Jatisunda berjudul “Sistem Religi dan Nilai Spiritual Ki Sunda dari Masa ke Masa”. Disampaikan dalam seminar “Napak Lacak Ki Sunda” di Bogor pada tanggal 13 Agustus 2005.

2. ADA tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?
Ruswana bapak dari tiga anak, yang kesemuanya tak pernah punya pertalian dengan kasus-kasus yang dapat dianggap membahayakan negara.
Saya baru tahu di belakang hari kalau KTP strip itu ternyata penanda buat seorang penghayat aliran kepercayaan. Ruswana memang pemeluk Agama Buhun, suatu aliran kepercayaan yang bersumber dari ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

3. Dewi Kanti adalah salah satu contohnya. Sebagai penganut agama kepercayaan Sunda Wiwitan, dia harus berjibaku dengan petugas catatan sipil Kabupaten Kuningan (Jawa Barat), gara-gara dia ingin menikah dengan cara leluhur menikahkan mereka. Padahal sang suami, Okky Satrio yang Katolik tidak keberatan dengan permintaan Dewi. Beberapa tokoh agama lain pun seperti Islam, tidak mempersoalkannya.

Di Tatar sunda ada banyak sekali komunitas berbasis sunda, dari politik, budaya, dan kepercayaan, ada yang mendirikan dengan bentuk badan hukum, ada juga yang bersifat tradisional (kedaerahan), komunitas kesundaan yang sudah lama ratusan tahun dikenal contohnya kampung naga di tasikmalaya, kampung urug di bogor, ciptagelar banten selatan, dan baduy. 3 komunitas yang disebut pertama memeluk agama islam dengan taat, dan dalam kehidupan sehari hari menjalankan budaya sunda, sedangkan baduy belum memeluk islam, masih memegang kepercayaan leluhur mereka yang sudah ribuan tahun sebelum islam, hindu, budha, masuk ke tanah air, kepercayaan mereka adalah sunda wiwitan. Semua komunitas kesundaan yang disebut tadi mempunyai hubungan baik dengan masyarakat sekitar, bahkan banyak sekali turis mengunjungi lokasi mereka sebagai wisata, mereka memegang adat sunda dengan 'peguh' yaitu menjaga kehamornisan antara alam dan manusia, alam mereka menjaga keseimbangan tidak merusak tatanan yang sudah digariskan Tuhan YME, dengan manusia mereka bersikap someah, saling membantu, tidak mencela apalagi mencari kesalahan orang atau kelompok tertentu, dan tradisi ini sudah ratusan tahun mereka jalankan.
Keharmonisan tatar sunda yang sudah ratusan tahun itu tersentak ketika muncul pernyataan dari kelompok yang merasa mereka itu didiskriminasi karena berbeda agama, bahkan mereka menuntut agamanya itu ingin dicantunkan dalam KTP, mereka merasa pemerintah bertindak tidak adil, tidak melindungi setiap warga negara dalam menjalankan kepercayaannya. Ironisnya mereka sering mencela agama lain dengan mengatakan agama impor, islam adalah agama impor dari arab,  agama islam adalah agama orang arab, ada juga mereka memfonis bahwa islam perusak budaya sunda, bahkan banyak juga beranggapan islam melakukan pemaksaan dalam ajarannya.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kepercayaan kelompok ini,  kita lihat sejarah ke belakang di tanah jawa ratusan tahun ke belakang.
Setelah perang jawa 1825-1830, belanda mengalami kerugian besar yang pernah dialami selama menduduki nusantara, untuk mengganti dan mencegah terjadi lagi serta mengganti semua kerugian itu belanda menjalankan beberapa cara : 1.tanam paksa 2. mengawasai secara ketat semua orang yg terkait pemberontakan, 3.menyebarkan faham faham kepercayaan yang memecahkan persatuan bangsa. Apalagi di akhir pemberontakan perang jawa, di jawa tengah muncul seorang pujangga besar yang syair syair-nya membuat belanda ketar ketir, karena dalam syair-nya sang pujangga, menulis ramalan tentang kemerdekaan indonesia, pujangga itu adalah Ronggo Warsito, sang pujangga selain ditahan, belanda juga berusaha menetralisir paham/ramalan Sang Pujangga dengan membuat syair syair/ramalan tandingan yang isinya kontroversi karena bersifat memecah persatuan bangsa.
Serat Dharmogandul yang penulisnya tidak diketahui, hanya mencantumkan nama Ki Kalam Wadi, ada yang menafsirkan Kalam Wadi adalah Rangga Warsita, pihak penjajah sengaja membawa opini ini agar mebatasi ruang gerak Rangga Warsita, tetapi jika diteliti lebih detail isi serat Dharmogandul sangat bertentangan dengan karya Ronggo Warsito lainnya, dharmogandul memojokkan kaum muslim dan para penyebar agama islam walisongo, rupanya belanda ingin memfitnah Ranggo Warsito dengan karya serat dharmogandul, perkiraan belanda mempunyai 2 keuntungan, satu menetralisir paham ramalan kemerdekaan indonesia oleh Rangga Warsita, dua menghukum Ronggo Warsito dengan memancing kemarahan umat islam kepada Ronggo Warsito. Serat Dharmogandul isinya sangat bertentangan dengan fakta sejarah, diantaranya pasukan majapahit memakai senapan api ketika perang dengan demak, padahal senapan api baru dikenal setelah portugis/belanda masuk ke indonesia. Disampin itu dalam serat dgharmogandul belanda berusaha menyebarkan paham agama baru yang bersifat kedaerahan dan  belum pernah ada sebelumnya.
Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.
Misalnya diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :
Dharmogandul

contoh kejanggalan pertama serat dharmogandul
… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis

Bahasa Indonesia
Dari kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal senjata api berupa senapan. Sedangkan fakta sejarahnya, senapan dengan istilah bedil, baru dikenal oleh orang Jawa pasca kedatangan bangsa Eropa di bumi Nusantara. Maka jelas bahwa buku Darmagandul baru ditulis pasca kedatangan bangsa Eropa dan bukan pada masa peralihan antara kejatuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak sebagaimana diyakini sebagian kalangan.

contoh  kejanggalan kedua serat dhamogandul
Teks Asli Dharmogandul
Kula manawi tilêm ngantos 200 taun, sadangunipun kula tilêm tamtu wontên pêpêrangan sadherek mêngsah sami sadherek, ingkang nakal sami nêdha jalma, sami nêdha bangsanipun piyambak, dumugi sapriki umur-kula sampun 2000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, nêtêpi wiwit sapisan ngestokakên agami Buddha. Sawêg paduka ingkang karsa nilar pikukuh luhur Jawi. Jawi têgêsipun ngrêti, têka narimah nama Jawan, rêmên manut nunut-nunut, pamrihipun damêl kapiran muksa paduka mbenjing ”, Sabdane Wiku tama sinauran gêtêr-patêr.
Bahasa Indonesia
Hamba kalau tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur pasti ada peperangan, saudara melawan saudara, manusia yang jahat membunuhi manusia lainnya, membunuhi sesama bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, tetap memegang teguh agama Buddha sejak awal. Baru Paduka yang berkehendak meninggalkan ajaran luhur Jawa. Jawa artinya "tahu", "mengerti". Mau menerima berarti 'Jawan', hanya suka nurut ikut-ikutan, akan membuat sengsara muksa Paduka kelak," kata Sang Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.

Sabdo Palon : Hamba ini Ratu Dang Hyang
Umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun
Yang bernama Manik Maya itu hamba
Yang namanya Semar itu hamba.
Sabdo Palon merupakan sahabat setia dari Prabu Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Dia selalu mendampingi Prabu Brawijaya kemanapun sang Prabu melangkahkan kaki. Konon kabarnya pada saat Kerajaan Majapahit diserang oleh Raden Patah (putra Prabu Brawijaya) yang dibantu oleh Walisongo, Sabdo Palon inilah satu-satunya sahabat yang mendampingi Prabu Brawijaya melarikan diri menuju Blambangan.
Mengenai jati diri siapa sebenarnya Sabdo Palon memang tidak begitu jelas identitasnya, tidak ada buku maupun dokumen ataupun naskah-naskah kuno yang membahasa tentang Sabdo Palon tersebut secara detil mulai dari kelahiran, kiprahnya di tanah Jawa hingga kabar keberadaannya. Meskipun demikian sedikit info maupun cuplikan cerita yang terdapat dalam Serat Darmogandul dapatlah dimengerti siap Sabdo Palon sebenarnya.
Dalam Serat Darmogandul pada bagian dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon, dapat ditemukan beberapa pengakuan Sabdo Palon yang menceritakan siapa sebenarnya dia.
Pertama, Sabdo Palon mengaku bahwa dirinya telah “berusia 2000 lebih 3 tahun”.
Apabila pengakuan ini benar adanya, maka usia yang mencapai hingga ribuan tahun tidaklah mungkin dialami oleh manusia, manusia kurang lebih usianya hanya berkisar antara 70 hingga 100 tahun. Usia yang mencapai hingga ribuan tahun hanya akan dialami oleh makhluk ciptaan Tuhan yang biasa kita sebut dengan Jin. Dengan pengakuan usia tersebut maka Sabdo Palon diprediksi merupakan makhluk Jin yang menjadi sahabat setia Prabu Brawijaya.
Kedua, Sabdo palon mengaku “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba”.
Apabila pengakuannya ini benar adanya, maka Sabdo Palon bukanlah pertama kali mengasuh raja Jawa dengan menjadi penasehat Prabu Brawijaya. Namun memang sudah menjadi pekerjaan dan sekaligus identitasnyalah sebagai penasehat dan pengasuh raja-raja Jawa. Bahkan konon dalam beberapa naskah kuno yang berisi ramalan mengenai keadaan Nusantara di masa depan bahwa kelak Sabdo palon inilah yang akan mengasuh Ratu Adil yang diyakini akan segera hadir di indonesia dalam waktu dekat ini.
Ketiga, Sabdo Palon menyatakan “yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba”.
Apabila pernyataan dia ini benar adanya, maka Sabdo Palon merupakan sosok yang sakti mandraguna pada jaman dulu kala melebihi kesaktian manusia. belum pernah terdengar hingga saat ini bahwa kawah dari gunung-gunung yang ada di Nusantara dibuat oleh manusia. Pernyataan dia tersebut mengisyaratkan kelebihannya dari manusia yang sakti mandaraguna pada masa lalu.
Keempat, Sabdo Palon menyatakan bahwa arti dari namanya yaitu “Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah.”
Apabila pernyataan ini benar adanya, maka Sabdo Palon dapat memunculkan kata-kata yang dari kata-katanya tersebut dapat dipastikan terjadi dan menjadi kenyataan. Wajar saja bila di akhir pertemuan dengan Prabu Brawijaya Sabdo palon sempat memberikan ramalan mengenai keadaan Nusantara kelak di masa yang akan datang, katanya Nusantara akan mengalami huru hara di berbagai wilayah, dan banyak kalangan meyakini semua peristiwa yang terjadi saat ini di Indonesia merupakan perwujudan ramalan Sabdo Palon tersebut.
Kelima, Sabdo Palon menyatakan bahwa dirinyalah yang disebut “sebagai Semar artinya meliputi segala wujud”. identitas ini sangat diragukan karena Semar itu sampai detik ini masih samar dan tidak jelas sosoknya, antara wujud dan tak berujud, antara hayalan dan kenyataan, antara ada dan tidak ada. Untuk lebih jelasnya mengenai sosok Semar, dapat anda lihat pada tulisan saya dengan judul Semar sejatinya hayalan.
Beberapa pengakuan Sabdo Palon yang terdapat di dalam serat Darmogandul sepertinya tidak ada masalah yang berarti, semua kalangan dapat menerima pengakuan Sabdo Palon mengenai siapa dirinya begitu saja sesuai yang tersirat dalam naskah Darmogandul tersebut. Segala pernyataan Sabdo Palon kesemuanya diterima begitu saja dan dipercaya sebagai suatu kebenaran bahwa Sabdo Palon ya itulah seperti yang ada dalam serat Darmogandul. Cerita sejarah sepertinya ditelan mentah-mentah begitu saja apa adanya.
Masyarakat begitu saja menerima apa yang tersirat dalam Darmogandul sebagai suatu kebenaran dikarenakan mungkin masyarakat memang mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Sabdo Palon, ataukah karena pengakuannya yang meyakinkan sebagai pengasuh raja, ataukah karena ramalannya yang sepertinya telah terbukti pada saat ini, ataukah juga karena kepercayaan Jawa atas budaya yang ditinggalkan oleh leluhur kita di Nusantara, ataukah sebenarnya masyarakat tidak tahu secara pasti dan hanya ikut-ikutan percaya saja, atau mungkin karena seagama sehingga dipercaya begitu saja apa yang ada dalam serat Darmogandul mengani Sabdo palon.
Padahal kalau mau menelaah lebih teliti lagi maka akan didapatkan adanya keganjilan-keganjilan dan beberapa keanehan nyata-nyata tersirat dalam serat Darmogandul tersebut. keanehan itu bila ditelusuri lebih lanjut maka identitas Sabdo Palon dan pernyataanya mengenai siapa dirinya akan diragukan, ada yang bisa diterima sebagai identitasnya tetapi juga ada yang tidak bisa diterima alias mustahil Sabdo Palon memiliki identitas tertentu, dan dimungkinkan pula identitas Sabdo Palon dalam serat Darmogandul hanya tipuan belaka. Semua yang tertulis dalam serat tersebut sengaja dibuat-buat dengan maksud untuk mempengaruhi masyarakat maupun juga untuk merendahkan sosok para Walisongo.
Silahkan anda baca kembali apa yang dikatakan Sabdo Palon dalam serat Darmogandul, antara satu ucapan dengan ucapan yang lainnya sepertinya bertentangan dan antara identitas yang satu dengan identitas lainnya mengenai diri Sabdo Palon saling berbenturan. Sekilas tidak akan terlihat bahkan mungkin anda akan meyakini beberapa identitas tersebut memang sejatinya Sabdo Palon, padahal terlihat bertentangan.
Berikut akan saya paparkan beberapa kejanggalan mengenai identitas Sabdo Palon dari pernyataannya yang mustahil untuk dapat dipercaya.
1. Sejarahnya Semar tidak mengaku Sabdo palon.
Apakah anda pernah mendengan cerita atau membaca naskah kuno bahwa Semar mengatakan bila dirinya adalah Sabdo Palon? sepertinya tidak akan pernah hal tersebut terdengar ke telinga kita semua. Sejauh ini yang saya ketahui mengenai Semar bahwa Semar merupakan pengasuh Pandawa Lima bersama 3 sosok punokawan lainnya yaiu Gareng, Petruk dan Bagong tetapi itu hanya dalam cerita wayang saja.
Sabdo Palon menyatakan bahwa dirinyalah yang disebut Semar, apa tidak salah tempat tuh. Seharusnya kalo Sabdo Palon itu memang benar-benar Semar, maka seharusnya Semar juga menyatakan bahwa dirinya yang kelak disebut Sabdo Palon sehingga akan terlihat adanya timbal balik yang sama. Ibarat uang yang memiliki 2 wajah berbeda namun satu sosok. Akan tetapi kenyataannya Semar tidak mengaku Sabdo Palon dan hanya Sabdo Palon saja yang manyatakan dirinya Semar. Ini fitnah! nyata-nyata Sabdo Palon memfitnah Semar, dia bisa berbuat apa saja bahkan perbuatan buruk dan kemudian mengaku Semar. Kurang ajar tuh Sabdo Palon telah membuat fitnah secara nyata. Sementara Semar sejatinya hayalan alias tidak ada, wah jadi ndak karuan ceritanya, amburadul kesana kemari.
2. Semar tidak sendirian namun bertiga.
Dalam cerita wayang dimanapun tempatnya di Nusantara, kemunculan Semar selalu didampingi oleh 3 sosok punokawan yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka berempat tampil bersama mengiringi para Pandawa khususnya si Arjuna. Tidak pernah terlihat Semar muncul mendampingi para Pandawa Lima tanpa 3 sosok Punokawan tersebut.
Lain cerita Sabdo Palon hanya sendirian, dia tidak didampingi siapapun dalam mengiringi Prabu Brawijaya melarikan diri dari kerajaan Majapahit. Sementara Noyo Genggong bukan sosok berbeda dengan Sabdo Palon, Sabdo Palon Noyo Genggong merupakan nama satu sosok yang memiliki arti sediri seperti yang disebut dalam Serat Darmogandul. Lantas dimana 3 Punokawan lainnya apabila memang Sabdo Palon sejatinya Semar? pertanyaan ini sepertinya tidak akan terjawab karena memang Sabdo Palon sendirian dan tidak memiliki teman apalagi 3 sosok teman. Apakah anda berpikir 3 sosok lainnya tidak ikut melarikan diri bersama Prabu Brawijaya, ataukah juga anda berpikir 3 sosok lainnya terbunuh ketika kerajaan Majapahit diserang Raden Patah dan Walisongo? tidak ada bukti keberadaan 3 sosok Punokawan yang biasa mendampingi Semar, maka Sabdo Palon bukanlah Semar.
3. Usia Sabdo Palon lebih lama dari Walisongo.
Ketahuilah bahwa yang namanya Punokawan mulai ada, muncul dan terdengar semenjak Walisongo berkiprah melancarkan misi dakwah di Nusantara. Sebelum itu tidak terdengar adanya sosok Punokawan tersebut mendampingi Pandawa Lima karena notabene cerita wayang di Indonesia berasal dari India yang disana tidak terdapat Punokawan mendampingi Pandawa Lima. Startegi dakwah para walisongo itulah yang menjadikan para Punokawan tersebut ada dan sepertinya nyata.
Ketika Sunan Kalijaga bertemu Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon, si Sabdo Palon mengaku telah berumur 2000 lebih 3 tahun. Padahal pada saat itu para Walisongo baru saja berkiprah menghadirkan Punokawan dalam dakwah mereka melalui kesenian wayang. Punokawan yang baru saja diciptakan dan dilahirkan oleh Walisongo tentu usianya masih muda, seratus tahun saja belum ada. Namun Sabdo palon mengaku telah berusia 2000 lebih 3 tahun, mana mungkin dipercaya kalo dia itu Semar, disaat Semar baru saja dilahirkan dia sudah berusia ribuan tahun.
4. Sabdo Palon seharusnya sahabat Sunan Kalijaga dan bukan Prabu Brawijaya.
Ingatlah ketika Prabu Brawijaya melarikan diri dari kerajaannya Majapahit, beliau di dampingi oleh sahabatnya Sabdo Palon. Keberadaan Sabdo Palon mendampingi Prabu Brawijaya dinilai tepat karena dia kan pengasuh Prabu Brawijaya sebagai raja Jawa. Akan tetapi apabila Sabdo Palon memang sejatinya Semar, posisi tersebut menjadi tidak tepat. Seharusnya yang namanya Semar itu mendampingi Sunan Kalijaga sebagai salah satu wali dari wali 3 serangkai yang menciptakan Punokawan, itupun kalo Semar memang sejatinya ada. Padahal Semar sejatinya tidak ada tuh.
Coba anda katakan bahwa Semar mendampingi Prabu Brawijaya melarikan diri dari kerajaan Majapahit, tuh kan aneh kedengarannya dan sangat janggal. Mana mungkin si Semar bersama Prabu Brawijaya, seharusnya kalo memang Sabdo Palon itu Semar maka kalimat yang tepat yaitu Semar bersama Sunan Kalijaga mengejar Prabu Brawijaya. Namun sejauh ini yang diceritakan bila Sunan Kalijaga tidak didampingi siapapun. Untuk itu sangat diragukan dan tidak mungkin sekali bahwa Sabdo Palon itu merupakan Semar.
5. Sabdo Palon tidak bersedia masuk islam.
Pernyataan Sabdo Palon yang menolak untuk masuk agama Islam atas penawaran Prabu Brawijaya merupakan hak asasi. Prabu Brawijaya tidak dapat memaksakan kehendak pada Sabdo Palon akan hal tersebut. Meskipun sebagai sahabat bahkan pengasuh tidak mengharuskan untuk beragama sama, jalinan persahabatan tetap akan terbina meskipun berbeda agama, yang terpenting adalah bisa saling memahami perbedaan tersebut. Akan tetapi Sabdo Palon memilih untuk meninggalkan Prabu Brawijaya karena kecewa Prabu telah mengganti keyakinannya.
Penolakan Sabdo Palon atas penawaran Prabu untuk masuk Islam menimbulkan kecurigaan. Apabila Sabdo Palon murni pengasuh raja-raja Jawa yang notabene beragama Buddha tentunya wajar saja bila menolak untuk berganti agama. Akan tetapi pengakuannya sebagai Semar dipertanyakan, karena Semar sebagai ciptaan walisongo merupakan Punokawan yang beragama islam. Kalaulah Sabdo Palon memang sejatinya Semar tentulah dia beragama islam tetapi kenyataannya dia beragama buddha sama dengan Prabu Brawijaya. Mana mungkin Sabdo Palon beragama Buddha dan Islam pada saat yang sama. Tidak masuk akal juga kalo Prabu Brawijaya mengajak Semar (Sabdo Palon) masuk Islam, Semarkan aslinya beragama islam, sudah islam kok ditawari masuk islam, masak jeruk minum jeruk, yang bener saja lah.
6. Sabdo Palon meremehkan Sunan Kalijaga.
Dalam kisah selanjutnya Sabdo Palon meremehkan kemampuan Sunan Kalijaga, apa yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan membuat air berbau harum dianggap sebagai tipuan. Sabdo Palon menghinanya dengan pernyataannya bila kekuatan tersebut lebih rendah dari yang dimilikinya. Yah memang dapat dimengerti Sabdo Palon menghina kekuatan Sunan Kalijaga karena Sabdo Palon kan Ratu Dang Hyang yang mengasuh raja-raja Jawa tentunya sosok yang sangat sakti mandraguna bahkan konon katanya kawah gunung semuanya Sabdo Palon yang membuat. Woow hebat.
Meremehkan kekuatan Sunan Kalijaga dengan menghinanya sedemikian rupa bisa dimengerti karena Sabdo Palon sebagai sahabat Prabu Brawijaya sangat kecewa akan keputusan Prabu meninggalkan agama lama berganti agama Islam. Selain itu juga kekecewaannya atas penyerangan Sunan Kalijaga bersama Raden Patah dan wali lainnya menyerang kerajaan Majapahit sehingga wajarlah Sabdo Palon akhirnya marah-marah.
Namun posisi Sabdo Palon apabila memang dia Semar tidak mungkin akan beradu kekuatan bahkan menghina kekuatan Sunan Kalijaga. karena keberadaan Semar beserta Punokawan dimunculkan oleh Walisongo, tentunya sebagai Semar akan berpihak pada Sunan Kalijaga sebagai salah satu dari wali 3 serangkai bukannya malah menghinanya. Ini sudah kelihatan mustahil Sabdo Palon itu yang disebut Semar.
7. Sabdo Palon pengasuh Raja-raja Jawa dan Semar pengasuh Pandawa Lima.
Bacalah sekali lagi Serat Darmogandul, dalam serat tersebut ada bunyi pernyataan Sabdo Palon bahwa dia merupakan pengasuh raja-raja Jawa sejak dulu hingga nanti termasuk Prabu Brawijaya sebagai asuhannya, terlepas apakah pernyataan dia itu benar ato bohong belaka. Sedangkan dalam cerita wayang disebutkan bahwa Punokawan merupakan pengasuh Pandawa Lima khususnya Arjuna. Lihatlah ketika cerita wayang digelar, kemunculan Pandawa dalam cerita tersebut akan didiringi oleh para Punokawan yang setia kepada tuannya.
Dari data tersebut sudah sangat jelas adanya perbedaan yang sangat mencolok. Yang satu sebagai pengasuh raja-raja Jawa sementara yang satu lagi sebagai pengasuh para Pandawa. Apakah anda akan mengatakan bila para Pandawa merupakan raja Jawa, hihihi kok lucu sih. ataukah sebaliknya anda akan mengatakan bila Prabu Brawijaya merupana salah satu dari Pandawa, hmm apa lagi ini. Semua orang mengerti siap raja Jawa, siapa Pandawa dan keduanya tidak akan pernah menyatu menjadi satu, keduanya merupakan sosok yang berbeda. Jadi mustahil Sabdo Palon sebagai pengasuh Pandawa Lima maka mustahil pula Semar sebagai pengasuh Prabu Brawijaya.
Dari beberapa kejanggalan mengenai pernyataan Sabdo Palon yang mengaku bahwa dirinyalah yang namanya Semar. Akhirnya terbukti sudah bila apa yang dikatakan Sabdo Palon tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Sabdo Palon hanya ngaku-ngaku saja bahwa dirinya adalah Semar. Entah kenapa si Sabdo Palon ini berani sekali menyatakan hal yang tidak semestinya apalagi di depan raja Prabu Brawijaya. Dia merangkap jabatan begitu banyak seenaknya, mulai dari pengasuh raja-raja Jawa, sebagai Semar yang mengasuh Pandawa Lima, hingga mengaku sebagai Manik Maya yang membuat kawah gunung-gunung di Nusantara.
Bisa jadi itu semua palsu, apa yang dikatakannya semuanya palsu belaka. Bisa jadi Sabdo Palon ini adalah sosok Jin yang menunggu pohon besar dan rimbun daun-daunnya seperti pohon beringin. Karena melihat Prabu Brawijaya kelelahan dan beristirahat setelah melarikan diri, maka si Sabdo Palon ini mendekatinya dan ngobrol dengan sang Prabu. Alhasil sang Prabu percaya kepadanya dan dijadikannya sebagai sahabat untuk memerangi Walisongo. Kemudian setelah Prabu Brawijaya berhasil dibujuk Sunan Kalijaga untuk masuk Islam maka si Sabdo Palon sangat kesal lalu mengatakan bahwa dia pengasuh ini, pengasuh itu dan sebagainya dijadikan satu begitu saja

Belanda berusaha menciptakan agama/kepercayaan baru berharap bisa memecah belah persatuan, agama itu  yang bersifat kedaerahan seperti yang tertulis di dalam teks Dharmogandul sang penulis (belanda) berusaha menciptakan seolah agama jawa adalah agama paling awal yang datang ke nusantara, padahal kejawen adalah perpaduan agama islam, hindu, dan budaya jawa, artinya sebelumnya datang agama budha, hindu, islam, kristen, di jawa tidak ada yang namanya agama jawa.
Di Tanah Pasundan-pun Belanda membuat agama dan kepercayaan baru yang bersifat kedaerahan, mereka menyebut agama Sunda, padahal agama sunda wiwitan hanya-lah ada di daerah Banten Selatan yaitu Baduy, mereka sudah ada sebelum masuknya agama Hindu, Budha, Islam ke nusantara, dan mereka mengasingkan diri dari dunia luar sejak ratusan-ribuan tahun lalu, tetapi mereka tidak pernah mencela agama lain, bahkan mereka selalu melakukan upacara seban sebagai tanda setia kepada pemerintah setempat
Berbeda dengan agama sunda yang dibawa oleh Madrais dan Mei Kartasasmita, yang sebelumnya mereka itu juga muslim, ajaran yang dibawa mereka banyak mencela agama islam, mereka mengatakan bahwa islam adalah agama orang arab. Belanda melancarkan propaganda agama nusantara untuk memecah umat islam saat itu, pengalaman dalam perang jawa, imam bonjol, aceh, pengaruh islam sangat menakutkan pihak belanda. Faham agama baru di jawa barat, di Cigugur, Kuningan, sekitar tahun 1920-an, dibawa oleh Madrais mendeklarasikan agama jawa - sunda, para murid dan pengikutnya yang sebelumnya beragama islam dipaksa meninggalkan agamanya masing masing, dengan alasam agama islam adalah agama orang arab. Madrais menciptakan aturan aturan baru dalam religi kehidupan sehari hari, seperti pernikahan, kematian, dll, dengan berdasarkan budaya sunda yang diciptakan sendiri.  Di Ciparay Bandung, belanda mengutus Mei KArtasasmita, yang pernah mengenyam pendidikan katolik di sekolah yang didirikan oleh belanda di tanah pasundan, Mei yang mengaku dapat ilham di sebuah aliran sungai di subang, hampir sama dengan Madrais, Mei Kartasasmita dalam pahamnya menjunjung tinggi budaya sunda tetapi banyak mencela agama islam yang identik dengan budaya arab. Mereka mengganggap orang islam adalah tamu yang menghancurkan budaya sunda. Dalam sejarah yang ditulis versi penganut kepercayaan Cigugur, Madrais pernah dibuang keluar jawa oleh belanda, begitu juga dengan Mei Kartasasmita yang berjuang melawan belanda dengan bergabung dengan organisasi pergerakan nasional, tetapi kita tidak mengetahui teori konspirasi yang diterapkan belanda, seolah kedua orang ini melawan belanda. Seperti belanda meredam perang aceh dengan mengirimkan seorang belanda snouck hurgronye ke mekah untuk belajar agama islam. Snock Horgroye dikirim ke aceh setelah belajar banyak islam di Mekah, dan kita mengetahui belanda bisa memadamkan perang aceh. Setelah perang aceh usai Snock Hurgronye dikirim ke wilayah Jawa Barat, karena Jawa Barat termasuk penganut islam yang taat, ada peribahasa sunda islam, islam sunda, hampir semua orang sunda adalah islam. Snock Hurgronye tinggal lama di tatar sunda, bukan mustahil madrais, dan mei kartasasmita adalah orang yang dipilih snock hurgronye untuk memecah belah rakyat pasundan.
Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini sering mengekspos diskriminasi yang diberikan kepada kelompoknya, mereka menuntut dicantumkan agama versi-nya, bisa dibayangkan jika ini dilaksanakan ada berapa ratus agama yg bersifat kedaerahan di Indonesia akan dicantumkan di KTP, di tatar sunda sendiri ada banyak kepercayaan daerah seperti cirebon, indramayu, banten, dll. Sempat ada usulan kolom agama agar dihilangkan agar tidak terlihat diskriminasi terhadap minoritas agma kepercayaan, jika hal ini terlaksana justru akan mengorbankan mayoritas penganut agama lain demi minoritas,   bahkan Anis Jatisunda menulis secara terbuka menyerukan kepada orang sunda untuk meninggalkan agama yang dianut mayoritas sunda yaitu islam untuk kembali ke agama sunda seperti yang tertulis di atas.

Hitler Menikah dengan orang Sunda

Hitler Meninggal di Indonesia?

VIVAnews - Diktator Jerman, Adolf Hitler diyakini tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945. Namun, fakta itu kini dipertanyakan.



Seperti dikutip dari laman Daily Telegraph, Senin 28 September 2009, Program History Channel Documentary Amerika Serikat menyatakan tengkorak milik Hitler yang disimpan Rusia bukan milik pemimpin NAZI tersebut.



Itu adalah tengkorak perempuan berusia di bawah 40 tahun, bukan Hitler yang dinyatakan meninggal di usia 56 tahun.



Penemuan ini, menguatkan kembali teori konspirasi bahwa Hitler tidak mati pada 1945. Dia diduga melarikan diri dan mati di usia tua.



Sejumlah teori beredar soal dimana kematian Hitler. Ada yang mengatakan Hitler meninggal di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, bahkan Indonesia.




Jurnalis Argentina sekaligus pengarang buku 'Bariloche Nazi', Abel Basti meyakini Hitler tewas di Argentina pada 1960.



Basti mengklaim Hitler melarikan diri dari Jerman menggunakan kapal selam. Bersama belahan jiwanya, Eva Braun, Hitler diyakini menghabiskan hari-hari terakhirnya di sebuah kota bernama Bariloche. Basti mendasarkan klaimnya atas keterangan beberapa saksi.



Kemudian, seperti dikutip laman Salisburypost, 30 Agustus 1999, artikel surat kabar pada 17 Juli 1945, memberitakan Hitler dan Eva braun terlihat di Argentina.



Seorang wartawan mengirim cerita dari Montevideo ke Chicago Times -- Hitler dan Braun melarikan diri ke Argentina dengan kapal selam. Keduanya hidup di kompleks orang-orang Jerman di Patagonia.



Sementara, klaim bahwa Hitler meninggal di Brazil didasarkan pengakuan anggota NAZI bahwa Hitler meninggal pada 1980 di Brazil.



Brazil diketahui sebagai tempat pelarian para mantan pengikut Hitler. Sebuah makam NAZI bahkan ditemukan di pedalaman Hutan Amazon, lengkap dengan lambang NAZI di nisan yang berbentuk salib.





Sebuah artikel mengejutkan telah lama beredar di sejumlah mailing list dan laman jejaring sosial. Artikel itu berisi versi lain cerita kematian diktator Jerman, Adolf Hitler. Dikatakan Hitler meninggal di Indonesia.



Cerita ini berawal dari sebuat artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama 'Hope' di Sumbawa Besar.



Dia menceritakan pengalamannya bertemu dengan dokter tua asal Jerman bernama Poch di Pulau Sumbawa Besar tahun 1960. Poch adalah pimpinan sebuah rumah sakit terbesar di pulau tersebut.



Klaim yang diajukan dr Sosrohusodo jadi polemik. Dia mengatakan dokter tua asal Jerman yang dia temui dan ajak bicara adalah Hitler di masa tuanya



Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal --- Dia selalu menyeret kaki kirinya ketika berjalan.



Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.



Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.



Menurut Sosrohusodo, dokter asal Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan.



Keyakinan Sosro, bahwa dia bertemu Hitler dan Eva Braun, membuatnya makin tertarik membaca buku dan artikel soal Hitler. Kata dia, setiap melihat foto Hitler di masa jayanya, dia makin yakin bahwa Poch, dokter tua asal Jerman yang dia temui adalah Hitler.



Keyakinannya bertambah saat seorang keponakannya, pada 1980, memberinya buku biografi Adolf Hitler karangan Heinz Linge yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.



Dalam halaman 59 artikel itu diceritakan kondisi fisik Hitler di masa tua. "Sejumlah orang Jerman tahu Hitler menyeret kakinya saat berjalan, penglihatannya makin kabur, rambutnya tak lagi tumbuh. Kala perang makin berkecamuk dan Jerman terus dipukul kalah, Hitler menderita kelainan syaraf."



Saat membaca buku tersebut, Sosro makin yakin, sebab kondisi fisik yang sama dia temukan pada diri Poch.



Dalam buku tersebut juga diceritakan tangan kiri Hitler selalu bergetar sejak pertempuran Stalingrad (1942 -1943) -- yang merupakan pukulan dahsyat bagi tentara Jerman.



Sosro mengaku masih ingat beberapa percakapannya dengan Poch yang diduga adalah Hitler. Poch selalu memuji-muji Hitler. Dia juga mengatakan tak ada pembunuhan di Auschwitz, kamp konsentrasi yang diyakini sebagai lokasi pembantaian orang-orang Yahudi.



"Saat saya bertanya soal kematian Hitler, dia mengatakan tak tahu. Sebab, saat itu situasi di Berlin dalam keadaan chaos. Semua orang berusaha menyelamatkan diri masing-masing," kata Sosrohusodo, seperti dimuat laman Militariana.



Sosro mengaku pernah memeriksa tangan kiri Poch yang selalu bergetar. Saat menanyakan kapan gejala ini mulai terjadi, Poch lalu bertanya pada istrinya yang lalu menjawab, "ini terjadi ketika Jerman kalah di pertempuran dekat Moskow. Saat itu Goebbels mengatakan padamu bahwa kau memukuli meja berkali-kali."



Goebbels yang disebut istri Poch diduga adalah Joseph Goebbe, menteri propaganda Jerman yang dikenal loyal dengan Hilter. Kata Sosro, istri Poch, yang diduga Eva Braun, beberapa kali memanggil suaminya 'Dolf', yang diduga kependekan dari Adolf Hitler.



Usai membaca artikel-artikel tersebut, Sosro mengaku menghubungi Sumbawa Besar. Dari sana, dia memperoleh informasi dr Poch meninggal di Surabaya.



Poch meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah Ngagel.



Sementara istrinya yang asal Jerman pulang ke tanah airnya, Poch diketahui menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial S. Dia diketahui tinggal di Babakan Ciamis.



Setelah menutup mulut,  S akhirnya memberi semua dokumen milik suaminya pada Sosro. termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.



Ada juga buku catatatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman



Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.



"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.



Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni  B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.



Istri kedua Poch, S juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."



Sosro mengaku tak ada maksud tersembunyi di balik pengakuannya. "Saya hanya ingin menunjukan Hitler meninggal di Indonesia," kata dia.



Hingga saat ini apakah Hitler tewas di bunker, di Argentina, Brazil, atau Indonesia, belum bisa dipastikan. Kisah akhir hayat 'sang Fuhrer' terus jadi misteri.



VIVAnews - Diktator Jerman, Adolf Hitler dikabarkan meninggal di Indonesia, tepatnya di Surabaya, Jawa Timur.



Sebelum ke Surabaya, Hitler diduga menyaru sebagai Poch, seorang dokter yang pernah bertugas di Sumbawa Besar.



Penelusuran VIVAnews soal kebenaran cerita ini diawali dari Sumbawa. Seorang saksi, bernama Ahmad Zuhri Muhtar mengaku memang ada dokter bernama Poch yang bekerja di Rumah Sakit Umum Sumbawa. Poch juga berpraktek di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang saat ini menjadi Puskesmas Seketeng.



"Kebetulan Puskesmas itu ada di dekat rumah," kata Ahmad ketika dihubungi VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.



Ahmad mengaku saat duduk di kelas 1 atau 2 Sekolah Dasar, dia menjadi pasien dokter Poch.



"Saya sering diperiksa. Waktu itu perasaan saya takut. Gayanya kayak gitu bukan gaya dokter. Itu ingatan saya waktu masih kecil," kata dia.



Dokter Poch yang dia kenal nampak garang. "Kalau dikatakan galak, nggak juga. Bahasa Indonesianya pas-pasan, dan ada gaya-gaya menggertak," kata dia.



Ahmad menceritakan ciri-ciri dr Poch yang dia kenal. "Kepala botak, kumis tebal merah jagung. Dia juga memakai kaca mata," kata dia.



Poch juga agak pincang. "Mobilnya Jeep kap terbuka, seperti buatan Jerman. Kalau menyetir dengan satu tangan, gaya geng-geng begitu," tambah Ahmad.



Pria kelahiran 1955 itu menceritakan Poch datang menumpang kapal asing 'Hope'. Kapal itu membawa obat-obatan dan menyediakan pengobatan gratis.



"Saya ingat, para penumpang dan kru-kru kapal dibawa turun melihat karapan kerbau di dekat rumah saya. dr Poch juga ada di komunitas itu," tambah dia.



Terkait informasi yang menyatakan Poch adalah Hitler, Ahmad mengaku  tak tahu pasti. Meski, dia mengakui ada kemiripan Poch dengan foto Hilter yang dia lihat di sejumlah media dan buku.



Kata Ahmad, harus ada kajian yang lebih ilmiah. Bagaimanapun, Hitler adalah sosok besar dalam sejarah yang layak diungkap kehidupannya.



"Saat ini soal Hitler seakan terabaikan. Padahal kalau mau menguak kisah ini sudah ada pintu masuknya, dokter Poch di Sumbawa besar dan makamnya di Ngagel," kata Ahmad.



***

Spekulasi bahwa Hitler meninggal di usia tua di Surabaya, Indonesia diawali artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama 'Hope' di Sumbawa Besar.



Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler.



Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal --- dia selalu menyeret kaki kirinya ketika berjalan.



Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.



Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.



Menurut Sosrohusodo, dokter asal Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan.



Poch diketahui meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah Ngagel.



Namun, fakta di mana 'sang Fuhrer' menghabiskan akhir hayatnya belum bisa dipastikan sampai saat ini. Ada yang yakin Hitler tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945.



Ada juga versi lain, bahwa pemimpin NAZI ini meninggal  di Argentina, Brazil, atau sebuah tempat di Amerika Selatan.



"dr Poch 'Hitler' Masuk Islam"

Istrinya yang asal Jerman pulang ke tanah airnya. Poch menikah lagi dengan perempuan Sunda



VIVAnews - Adolf Hitler, diktator Jerman dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas pembantaian bangsa Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di Indonesia -- sebagai dr Poch, dokter tua asal Jerman.



Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.



Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.



Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.



"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.



dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.



Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.



Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.



Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.



Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman



Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.



"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.



Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni  B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.



Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."



Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.



Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.



Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.

Bukti Sunda Land Adalah Benua Atlantis Yang Hilang

Bukti Sunda Land Adalah Benua Atlantis Yang Hilang | Kontroversi terbesar sepanjang sejarah  peradaban manusia, tampaknya kini mulai terungkap. Benua Atlantis seperti disebutkan Plato, Filosof Yunani, dalam bukunya Timaeus dan Critias sekitar 2500 tahun silam, dari sudut pandang geologi dan spekulasi ilmiah dewasa ini, sangat mungkin adalah Sunda Land, yang sekarang kita kenal dengan Indonesia Barat (Jawa, Sumatera dan Kalimantan) hingga semenanjung Malaysia dan Thailand. Benua Atlantis disebut sebagai awal peradaban manusia. Penduduknya memiliki kebudayaan tinggi dan bangsa superior. Namun benua itu telah tenggelam selama ribuan tahun karena berbagai bencana alam.

Yang menarik, hingga kini tidak diketahui dengan pasti dimana sebenarnya letak benua Atlantis itu? Dari sudut pandang geologis, ternyata sangat mungkin letak Atlantis justru di tataran Sunda….! Oki Oktariadi, peserta program Doktor Pengembangan Kewilayahan di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Jawa Barat, belum lama ini mengungkapkan hasil studi yang menarik mengenai kontroversi misteri benua yang hilang itu. Plato (topsecretwriters.com) ”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang ahli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 – 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. Namun dari sudut pandang geologi masa kini, Atlantis itu sangat mungkin adalah Sunda Land. Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan (mid century), kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya.

Para peneliti masa kini menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan awal peradaban manusia. Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa.
Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005) Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tersebut tenggelam.

Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos
Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan pendapat penulis.

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para ahli Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.


Benua Atlantis Yang Hilang Itu Ternyata Indonesia.



Bencana alam beruntun yang dialami Indonesia mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?



Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.



Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato‘s Lost Civilization. Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.



Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah Nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.



Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.



Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air yang berasal dari mencairnya es. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saaitu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.



Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.



Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantaibenua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.



Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, ”Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”



Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.



Kini Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat  mengatasinya.





Benua Atlantis & Peradaban Umat Manusia.



Sebagian orang menganggap Atlantis cuma dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis oleh para pakar. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua Atlantis terletak di Samudera Atlantik. Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.



Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable. Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah daratan besar yang dahulu kala bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira dua kali negara India. ”Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra, Jawa atau Kalimantan,” terang Harry.



Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia, kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005. Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.



Hipotesa itu kata Umar berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan akan menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium Internasional di Solo, 28-30 Juni. Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.  Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.



Dominasi Austronesia Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. ”Pertanyaannya dari mana asal-usul mereka? Mengapa sebarannya begitu meluas dan cepat yakni dalam 3500-5000 tahun yang lalu. Bagaimana cara adaptasinya sehingga memiliki keragaman budaya yang tinggi,” tutur Umar.

Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari Sunda Land yang tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban.





Indonesia Sebagai Sejarah Dunia.



Banyak hal yang orang luar negeri tahu sejak lama, tapi kita baru tahu tentang negeri kita sendiri. Sudah saatnya semua rakyat di Indonesia mengerti bahwa sejarah yang dipertentangkan dalam naskah Wangsakerta benar adanya. Bahkan penelusuran sampai kepada ancient civilization, yang tercantum di epik Mahabrata dan perang nuklirnya tercatat pula dalam catatan sejarawan dunia.



Prof.Dr. Mulyadhi Kartanegara, peneliti dan profesor pada UIN Syarif Hidayatullah, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) -Jakata, dan CIPSI (Center for Islamic Philosophy, Science dan Information, saat ini sedang mengedit dan menjalankan proyek terjemahan karya klasik inteletual Islam: Rasail Ikhwan Al-Shafa, menemukan bahwa para ulama penyusun Rasail Ikhwanus Shafa (Abad ke 11 M) sudah mengungkapkan dalam bab tentang asal-usul umat manusia, bahwa manusia pertama (ADAM dan HAWA) d turunkan ke bumi di suatu tempat di wilayah garis Khatulistiwa (equator), yang lama siang dan malamnya sama, terdiri dari dua musim, iklimnya tidak terlalu ekstrim, tanahnya subur, lumpurnya banyak mengandung unsur-unsur yang memungkinkan terciptanya atau terbentuknya species makhluk-makhluk, banyak airnya, dll. Intinya gambaran Ikwanus Shafa mirip dengan kondisi Nusantara atau Benua Sunda (Indonesia bagian Barat-Tengah).

Definsi Sunda



- Panah = Manah = Hati (Rasa Welas-Asih)

- Chakra atau Cakra = Titik Pusaran yang bersinar / Roda Penggerak Kehidupan (‘matahari’).

- Secara simbolik gendewa (gondewa) merupakan bentuk bibir yang sedang tersenyum.

Panah Chakra di Jawa Barat biasa disebut sebagai “Jamparing Asih” maksudnya adalah “Ajian Manah nu Welas Asih” ( ajian hati yang lembut penuh dengan cinta-kasih ). Maksud utama dari Jamparing Panah Chakra atau Jamparing Asih itu ialah “ucapan yang keluar dari hati yang welas asih dapat menggerakan roda kehidupan yang bersinar”. Keberadaan Panca Dewa kelak disilib-silokakan ( dilambangkan ) ke dalam kisah “pewayangan” dengan tokoh-tokoh baru melalui kisah Ramayana ( Ajaran Rama ) serta kisah Mahabharata pada tahun +/-1500 SM.
Yudis-ti-Ra, Bi-Ma, Ra-ju-Na, Na-ku-La, dan Sa-Dewa. Kelima cahaya itu kelak dikenal dengan sebutan “Pandawa” singkatan dari “Panca Dewa” ( Lima Cahaya ) yang merupakan perlambangan atas sifat-sifat kesatria negara. Istilah “wayang” itu sendiri memiliki arti “bayang-bayang”, maksudnya adalah perumpamaan dari kelima cahaya tersebut.

Selama ini cerita wayang selalu dianggap ciptaan bangsa India, hal tersebut mungkin “benar” tetapi boleh jadi “salah”. Artinya kemungkinan terbesar adalah bangsa India telah berjasa melakukan pencatatan tentang kejadian besar yang pernah ada di Bumi Nusantara melalui kisah pewayangan dalam cerita mitos Ramayana dan Mahabharata. Simple logik nya India dikenal sebagai bangsa Chandra ( Chandra Gupta ) yang berarti Bulan sedangkan Nusantara dikenal sebagai bangsa Matahari ( Ra-Hyang ), dalam hal ini tentu Matahari lebih unggul dan lebih utama ketimbang Bulan. India diterangi atau dipengaruhi oleh ajaran dan kebudayaan Nusantara. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa bukti ( jejak ) peninggalan di Bumi Nusantara telah banyak dilupakan, diselewengkan hingga dimusnahkan oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga pada saat ini kita sulit untuk membuktikannya melalui “kebenaran ilmiah”.

Berkaitan dengan persoalan “Pancawarna”, bagi orang-orang yang lupa kepada “jati diri” ( sebagai bangsa Matahari ) di masyarakat Jawa-Barat dikenal peribahasa “teu inget ka Purwa Daksina…!” artinya adalah “lupa kepada Merah-Putih” ( lupa akan kebangsaan/ tidak tahu diri/ tidak ingat kepada jati diri sebagai bangsa Galuh penganut ajaran Sunda ).

Banyak orang Jawa Barat mengaku dirinya sebagai orang “Sunda”, mereka mengagungkan “Sunda” sebagai genetika biologis dan budayanya yang membanggakan, bahkan secara nyata perilaku diri mereka yang lembut telah menunjukan kesundaannya ( sopan-santun dan berbudhi ).

Sebagaian Masyarakat Jawa Barat tidak menyadari ( tidak mengetahui ) bahwa perilaku lembut penuh tata-krama sopan-santun dan berbudhi itu terjadi akibat adanya “ajaran” ( kepercayaan Sunda ) yang mengalir di dalam darah mereka dan bergerak tanpa disadari. Untuk mengatakan kejadian tersebut para leluhur menyebutnya,
“nyumput buni di nu caang” ( tersembunyi ditempat yang terang ) artinya adalah mentalitas, pikiran, perilaku, seni, kebudayaan, filosofi yang mereka lakukan sesungguhnya adalah hasil didikan kepercayaan Sunda tetapi si pelaku sendiri tidak mengetahuinya.

Inti pola dasar ajaran Sunda adalah “berbuat baik dan benar yang dilandasi oleh kelembutan rasa welas-asih”. Pola dasar tersebut diterapkan melalui Tri-Dharma ( Tiga Kebaikan ) yaitu sebagai pemandu ‘ukuran’ nilai atas keagungan diri seseorang/ derajat manusia diukur berdasarkan dharma ( kebaikan ).
 1.Dharma Bakti, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap diri, keluarga serta di lingkungan kecil tempat ia hidup, manusianya bergelar “Manusia Utama”.
 2.Dharma Suci, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap bangsa dan negara, manusianya bergelar “Manusia Unggul Paripurna” ( menjadi idola ).
 3.Dharma Agung, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap segala peri kehidupan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, yang tercium, yang tersentuh dan tidak tersentuh, segala kebaikan yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, manusianya bergelar “Manusia Adi Luhung” ( Batara Guru ).


Dalam agama Islam bisa jadi arti ini adalah tingkatan dari Syariat, Tarikat, Hakikat yang jika semua sudah tercapai menjadi Ma'rifat.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Tri-Dharma ini kelak menjadi pokok ajaran “Budhi-Dharma” ( Buddha ) yang mengutamakan budhi kebaikan sebagai bukti dan bakti rasa welas-asih terhadap segala kehidupan untuk mencapai kebahagiaan, atau pembebasan diri dari kesengsaraan.

Ajaran ini kelak dilanjutkan dan dikembangkan oleh salah seorang tokoh Mahaguru Rasi Shakyamuni – Sidharta Gautama ( ‘Sang Budha’ ), seorang putra mahkota kerajaan Kapilawastu di Nepal – India.

Pembentukan Tri-Dharma Sunda dilakukan melalui tahapan yang berbeda sesuai dengan tingkatan umurnya yaitu :

Dharma Rasa, ialah mendidik diri untuk dapat memahami “rasa” ( kelembutan ) di dalam segala hal, sehingga mampu menghadirkan keadaan “ngarasa jeung rumasa” ( menyadari rasa dan memahami perasaan ) / Empaty. Dengan demikian dalam diri seseorang kelak muncul sifat menghormati, menghargai, dan kepedulian terhadap sesama serta kemampuan merasakan yang dirasakan oleh orang lain ( pihak lain ), hal ini merupakan pola dasar pembentukan sifat “welas-asih” dan manusianya kelak disebut “Dewa-Sa”.
Dharma Raga, adalah mendidik diri dalam bakti nyata ( bukti ) atau mempraktekan sifat rasa di dalam hidup sehari-hari ( *bukan teori ) sehingga kelak keberadaan/ kehadiran diri dapat diterima dengan senang hati ( bahagia ) oleh semua pihak dalam keadaan “ngaraga jeung ngawaruga” ( menjelma dan menghadirkan ). Hal ini merupakan pola dasar pembentukan perilaku manusia yang dilandasi oleh kesadaran rasa dan pikiran. Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini disebut “Dewa-Ta”.
Dharma Raja, adalah mendidik diri untuk menghadirkan “Jati Diri” sebagai manusia “welas-asih” yang seutuhnya dalam segala perilaku kehidupan “memberi tanpa diberi” atau memberi tanpa menerima ( tidak ada pamrih ). Tingkatan ini merupakan pencapaian derajat manusia paling terhormat yang patut dijadikan suri-teladan bagi semua pihak serta layak disebut ( dijadikan ) pemimpin.

Ajaran Sunda berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan. Matahari telah menjadi sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa Matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sunda berkiblat kepada Matahari ( Sang Hyang Tunggal ) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit.
( Disini adalah benang merah yang kurang cocok dengan Ajaran Islam dimana kepercayaan Sunda berkesan menyembah Matahari ). Mungkin karena itu Allah menurunkan Rasul Rasul Nya setelah adanya Kepercayaan Sunda.

Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu menampak. Oleh masyarakat Barat melalui masing-masing kecerdasan kode berbahasa mereka ajaran Matahari ini diabadikan dalam sebutan SUNDAY ( hari Matahari ), berasal dari kata “Sundayana” dan bangsa Indonesia lebih mengenal Sunday itu sebagai hari Minggu.

Di wilayah Amerika kebudayaan suku Indian, Maya dan Aztec pun tidak terlepas dari pemujaan kepada Matahari, demikian pula di wilayah Afrika dan Asia, singkatnya hampir seluruh bangsa di dunia mengikuti ajaran leluhur bangsa Galuh Agung ( Nusantara ) yang berlandaskan kepada tata-perilaku berbudhi dengan rasa “welas-asih” ( cinta-kasih ).

Oleh bangsa Barat ( Eropa dan Amerika ) istilah Sundayana ‘diubah’ menjadi Sunday ( hari matahari ) sedangkan di Nusantara dikenal dengan sebutan “Surya” yang berasal dari tiga suku kata yaitu Su-Ra-Yana, bangsa Nusantara memperingatinya dalam upacara “Sura” ( Suro ) yang intinya bertujuan untuk mengungkapkan rasa menerima-kasih serta ungkapan rasa syukur atas “kesuburan” negara yang telah memberikan kehidupan dalam segala bentuk yang menghidupkan baik berupa makanan, udara, air, api ( kehangatan ), tanah.

Pengertian Surayana pada hakikatnya sama saja dengan Sundayana sebab mengandung maksud dan makna yang sama.

- SU = Sejati

- RA = Sinar/ Maha Cahaya/ Matahari

- YANA = way of life/ ajaran/ ageman/ agama

Maka arti “Surayana” adalah sama dengan “Kepercayaan Matahari yang Sejati” dan dikemudian hari bangsa Indonesia mengenal dan mengabadikannya dengan sebutan “Sang Surya” untuk mengganti istilah “Matahari”.

5000 tahun sebelum penanggalan Masehi di Asia dalam sejarah peradaban bangsa Mesir kuno  menerangkan ( menggambarkan ) tentang keberadaan ajaran Matahari dari bangsa Galuh, mereka menyebutnya sebagai “RA” yang artinya adalah Sinar/ Astra/ Matahari/ Sunda.

“RA” digambarkan dalam bentuk “mata” dan diposisikan sebagai “Penguasa Tertinggi” dari seluruh ‘dewa-dewa’ bangsa Mesir kuno yang lainnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangsa Mesir kuno-pun menganut dan mengakui Sundayana ( Kepercayaan Matahari ) yang dibawa dan diajarkan oleh leluhur bangsa Galuh.

Disisi lain bangsa Indonesia saat ini mengenal bentuk dan istilah “mata” ( eye ) yang mirip dengan gambaran “AMON-RA” bangsa Mesir kuno, sebutan “amon” mengingatkan kita kepada istilah “panon” yang berarti “mata” yang terdapat pada kata “Sang Hyang Manon” yaitu penamaan lain bagi Matahari di masyarakat Jawa Barat jaman dahulu ( *apakah kata Amon dan Manon memiliki makna yang sama ? )

Selain di Asia ( Mesir ) bangsa Indian di Amerika-pun sangat memuja Matahari ( sebagai simbol leluhur, dan mereka menyebut dirinya sebagai bangsa “kulit merah” ) bahkan masyarakat Inca, Aztec dan Maya di daerah Amerika latin membangun kuil pemujaan yang khusus ditujukan bagi Matahari, hingga mereka menggunakan pola penghitungan waktu yang berlandas pada peredaran Matahari, mirip dengan di Nusantara ( pola penanggalan Saka = Pilar Utama = Inti / Pusat Peredaran = Matahari ).

Masyarakat suku Inca di Peru ( Amerika Latin ) membangun tempat pemujaan kepada Matahari di puncak bukit yang disebut Machu Picchu. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa secara umum konsep “meninggikan dengan pondasi yang kokoh” dalam kaitannya dengan “keagungan“ ( tinggi, luhur, puncak, maha ) merupakan landas berpikir yang utama kepercayaan Sunda.

Secara filosofis, pola bentuk ‘bangunan’ menuju puncak meruncing ( gunungan ) itu merupakan perlambangan para Hyang yang ditinggikan atau diluhurkan, hal inipun merupakan silib-siloka tentang perjalanan manusia dari “ada” menuju “tiada” ( langit ), dari jelma menjadi manusia utama hingga kelak menuju puncak kualitas manusia adiluhung ( maha agung ).

Demikian pula yang dilakukan oleh suku Maya di Mexico pada jaman dahulu, mereka secara khusus membangun tempat pemujaan ( kuil/pura ) kepada Matahari ( Sang Hyang Tunggal ).

Pada jaman dahulu hampir seluruh bangsa di benua Amerika ( penduduk asli ) memuja kepada Matahari, dan hebatnya hampir semua bangsa menunjukan hasil kebudayaan yang tinggi. Kemajuan peradaban dalam bidang arsitektur, cara berpakaian, sistem komunikasi ( baik bentuk lisan, tulisan, gaya bahasa, serta gambar ), adab upacara, dll. Kemajuan dalam bidang pertanian dan peternakan tentu saja yang menjadi yang paling utama, sebab hal tersebut menunjukan kemakmuran masyarakat, artinya mereka dapat hidup sejahtera tentram dan damai dalam kebersamaan hingga kelak mampu melahirkan keindahan dan keagungan dalam berkehidupan ( berbudaya ).

Sekitar abad ke XV kebudayaan agung bangsa Amerika latin mengalami keruntuhan setelah datangnya para missionaris Barat yang membawa misi Gold, Glory dan Gospel. Tujuan utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan) sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa.

Propaganda yang mereka beritakan tentang perilaku biadab kepercayaan Matahari dan kelak dipercaya oleh masyarakat dunia adalah bahwa, “suku terasing penyembah matahari itu pemakan manusia”, hal ini mirip dengan yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah lainnya di Indonesia. Dibalik propaganda tersebut maksud sesungguhnya kedatangan para ‘penyebar agama’ itu adalah perampokan kekayaan alam dan perluasan wilayah jajahan ( imperialisme ), sebab mustahil bangsa yang sudah “beragama” harus ‘diagamakan’ kembali dengan ajaran yang tidak berlandas kepada nilai-nilai kebijakan dan kearifan lokalnya.

Dalam pandangan penganut kepercayaan Sunda ( bangsa Galuh ) yang dimaksud dengan “peradaban sebuah bangsa ( negara )” tidak diukur berdasarkan nilai-nilai material yang semu dan dibuat-buat oleh manusia seperti bangunan megah, emas serta batu permata dan lain sebagainya, melainkan terciptanya keselarasan hidup bersama alam ( keabadian ).
Prinsip tersebut tentu saja sangat bertolak-belakang dengan negara-negara lain yang kualitas geografisnya tidak sebaik milik bangsa beriklim tropis seperti di Nusantara dan negara tropis lainnya. Leluhur Galuh mengajarkan tentang prinsip kejayaan dan kekayaan sebuah negara sebagai berikut :


“Gunung kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka bagja rahayu sakabeh rahayatna”

(Gunung harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, maka tentram damai sentausa semua rakyatnya)


“Gunung teu meunang dirempag, leuweung teu meunang dirusak”

(Gunung tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak)


Kuil ( tempat peribadatan ) pemujaan Matahari hampir seluruhnya dibangun berdasarkan pola bentuk “gunungan” dengan landasan segi empat yang memuncak menuju satu titik. Boleh jadi hal tersebut berkaitan erat dengan salah satu pokok ajaran Sunda dalam mencapai puncak kualitas bangsa ( negara ) seperti Matahari yang bersinar terang, atau sering disebut sebagai “Opat Ka Lima Pancer” yaitu, empat unsur inti alam ( Api, Udara, Air, Tanah ) yang memancar menjadi “gunung” sebagai sumber kehidupan mahluk.

Menilik bentuk-bentuk simbolik serta orientasi pemujaannya maka dapat dipastikan bahwa piramida di wilayah Mesir-pun sesungguhnya merupakan kuil Matahari ( Sundapura ). Walaupun sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa piramid itu adalah kuburan para raja namun perlu dipahami bahwa raja-raja Mesir kuno dipercaya sebagai Keturunan Matahari/ Utusan Matahari/ Titisan Matahari/ ataupun Putra Matahari, dengan demikian mereka setara dengan “Putra Sunda” ( Utusan Sang Hyang Tunggal ).


Untuk sementara istilah “Putra Sunda” bagi para raja Mesir kuno dan yang lainnya tentu masih terdengar janggal dan aneh sebab selama ini sebutan “Sunda” selalu dianggap sebagai suku, ras maupun wilayah kecil yang ada di pulo Jawa bagian barat saja, istilah “Sunda” seolah tidak pernah terpahami oleh bangsa Indonesia pun oleh masyarakat Jawa Barat sendiri.

Tidak diketahui waktunya secara tepat, Sang Narayana Galuh Hyang Agung ( Galunggung ) mengembangkan dan mengokohkan ajaran Sunda di Jepang, dengan demikian RA atau Matahari begitu kental dengan kehidupan masyarakat Jepang, mereka membangun tempat pemujaan bagi Matahari yang disebut sebagai Kuil Nara ( Na-Ra / Api-Matahari ) dan masyarakat Jepang dikenal sebagai pemuja Dewi Amate-Ra-Su Omikami yang digambarkan sebagai wanita bersinar ( Astra / Aster / Astro / Astral / Austra ).
( Huehueuhe disambung sambung Australia -> Austra Mulia ) ????



Tidak hanya itu, penguasa tertinggi “Kaisar Jepang” pun dipercaya sebagai titisan Matahari atau Putra Matahari ( Tenno ) dengan kata lain para kaisar Jepang-pun bisa disebut sebagai “Putra Sunda” ( Anak/ Utusan/ Titisan Matahari ) dan hingga saat ini mereka mempergunakan Matahari sebagai lambang kebangsaan dan kenegaraan yang dihormati oleh masyarakat dunia.

Dikemudian hari Jepang dikenal sebagai negeri “Matahari Terbit” hal ini disebabkan karena Jepang mengikuti jejak ajaran leluhur bangsa Nusantara, hingga pada tahun 1945 ketika pasukan Jepang masuk ke Indonesia dengan misi “Cahaya Asia” mereka menyebut Indonesia sebagai “Saudara Tua” untuk kedok politiknya.

Secara mendasar ajaran para leluhur bangsa Galuh dapat diterima di seluruh bangsa ( negara ) karena mengandung tiga pokok ajaran yang bersifat universal ( logis dan realistis ), tanpa tekanan dan paksaan yaitu :

Pembentukan nilai-nilai pribadi manusia (seseorang) sebagai landasan pokok pembangunan kualitas keberadaban sebuah bangsa ( masyarakat ) yang didasari oleh nilai-nilai welas-asih ( cinta-kasih ).
Pembangunan kualitas sebuah bangsa menuju kehidupan bernegara yang adil-makmur-sejahtera dan beradab melalui segala sumber daya bumi ( alam / lingkungan ) di wilayah masing-masing yang dikelola secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemeliharaan kualitas alam secara selaras yang kelak menjadi pokok kekayaan atau sumber daya utama bagi kehidupan yang akan datang pada sebuah bangsa, dan kelak berlangsung dari generasi ke generasi ( berkelanjutan ).

Demikian ajaran Sunda ( Sundayana / Surayana / Agama Matahari ) menyebar ke seluruh penjuru Bumi dibawa oleh para Guru Hyang memberikan warna dalam peradaban masyarakat dunia yang diserap dan diungkapkan ( diterjemahkan ) melalui berbagai bentuk tanda berdasarkan pola kecerdasan masing-masing bangsanya.

Ajaran Sunda menyesuaikan diri dengan letak geografis dan watak masyarakatnya secara selaras ( harmonis ) maka itu sebabnya bentuk bangunan suci ( tempat pemujaan ) tidak menunjukan kesamaan disetiap negara, tergantung kepada potensi alamnya. Namun demikian pola dasar bangunan dan filosofinya memiliki kandungan makna yang sama, merujuk kepada bentuk gunungan.

Di Indonesia sendiri simbol “RA” (Matahari/ Sunda) sebagai ‘penguasa’ tertinggi pada jaman dahulu secara nyata teraplikasikan pada berbagai sisi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu diungkapkan dalam bentuk ( rupa ) serta penamaan yang berkaitan dengan istilah “RA” ( Matahari ) sebagai sesuatu yang sifat agung maupun baik, seperti :
 ‧Konsep wilayah disebut  “Naga-Ra / Nega-Ra”
 ‧Lambang negara disebut  “Bende-Ra”
 ‧Maharaja Nusantara bergelar  “Ra-Hyang”
 ‧Keluarga Kerajaan bergelar  “Ra-Keyan dan Ra-Ha-Dian ( Raden )”.
 ‧Konsep ketata-negaraan disebut  “Ra-si, Ra-tu, Ra-ma”
 ‧Penduduknya disebut  “Ra-Hayat” (rakyat).
 ‧Nama wilayah disebut  “Dirganta-Ra, Swarganta-Ra, Dwipanta-Ra, Nusanta-Ra, Indonesia (?) ”


dan masih banyak lagi, silahkan riset sendiri ya :)

Kemaharajaan ( Keratuan / Keraton ) Nusantara yang terakhir, “Majapahit” kependekan dari Maharaja-Pura-Hita ( Tempat Suci Maharaja yang Makmur-Sejahtera ) dikenal sebagai pusat pemerintahan “Naga-Ra” yang terletak di Kediri - Jawa Timur sekitar abad XIII ( 13 ) masih mempergunakan bentuk lambang Matahari, sedangkan dalam panji-panji kenegaraan lainnya mereka mempergunakan warna “merah dan putih” ( Purwa-Daksina ) yang serupa dengan pataka (‘bendera’) Indonesia saat ini.

Tidak terlepas dari keberadaan ajaran Sunda ( Matahari ) dimasa lalu yang kini masih melekat diberbagai bangsa sebagai lambang kenegaraan ataupun hal-hal lainnya yang telah ber-ubah menjadi legenda dan mitos, tampaknya bukti terkuat tentang cikal-bakal ( awal ) keberadaan ajaran Matahari atau kepercayaan “Sunda” itu masih tersisa dengan langgeng di Bumi Nusantara  yang kini telah beralih nama menjadi Indonesia.

Di Jawa Kulon ( Barat ) sebagai wilayah suci tertua ( Mandala Hyang ) tempat bersemayamnya Leluhur Bangsa Matahari ( Pa-Ra-Hyang ) dikenal dengan kata Parahyangan hingga saat ini masih menyisakan penandanya sebagai pusat ajaran Sunda ( Matahari ), yaitu dengan ditetapkannya kata “Tji” ( Ci ) yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah seperti Ci Beureum ( Cahaya Merah ), Ci Hideung ( Cahaya Hitam ), Ci Bodas ( Cahaya Putih ), Ci Mandiri ( Cahaya Mandiri ), dan lain sebagainya.
Namun sayang banyak ilmuwan Nusantara khususnya dari Jawa Barat malah menyatakan bahwa “Ci” adalah “cai” yang diartikan sebagai “air”, padahal jelas-jelas untuk benda cair itu masyarakat Jawa Barat jaman dulu secara khusus menyebutnya sebagai “Banyu” dan sebagian lagi menyebutnya sebagai “Tirta”
(*belum diketahui perbedaan diantara keduanya). Mari kita riset bersama... sejarah itu emang perlu diketahui biar ga ilang kepada keturunan keturunan kita kelak.

Sebutan “Ci” yang kelak diartikan sebagai “air” ( cai / nyai ) sesungguhnya berarti “cahaya / kemilau” yang terpantul di permukaan banyu ( tirta ) akibat pancaran “sinar” ( kemilau ). Masalah “penamaan / sebutan” seperti ini oleh banyak orang sering dianggap sepele, namun secara prinsip berdampak besar terhadap “penghapusan” jejak perjalanan sejarah para leluhur bangsa Galuh Agung pendiri kepercayaan Sunda ( Matahari ). Nah ini dia salah satu case yang dinamakan Distorsi SEJARAH.

Percaya Atau tidak.. ini artikel hanyalah penapsiran sepihak, selebihnya tergantung si pembaca, ingin tidak nya mempelajari arti pengetahuan dari sejarah.
Artikel ini semata mata tidak untuk mengajak kita mempercayai dan menyembah matahari. Simple logic, kepercayaan ini sudah di revisi melalui Utusan Allah Swt dengan baragam pesan pesan wahyu yang turun ke Dunia melalui Rasul Rasul Nya.

Maka dari itu apakah kita masih berpaling dari sebuah kebenaran dengan adanya distorsi sejarah kepercayaan / Religi umat manusia di dunia ???

Saya yakin dan mutlak, Agama yang terakhir diturunkan oleh Sang Khaliq adalah agama Islam, yang dalam Kitab nya ( Al-Quran ) Allah berjanji untuk melindungi / memelihara Ayat ayat Al-Quran tanpa adanya distorsi sejarah. ( QS:15:9 )
Dari sini mengapa harus 9 -> ini adalah sebuah angka bilangan terakhir bukan ? .. coba artikulasi 15 = 6, dibalik 9 juga,..
Alam semesta diciptakan dalam 6 masa, biar pembaca buka qur'an coba liat deh yah, sengaja saya tidak tulis surat nya di sini, daripada baca blog ini yang belum tentu 100% benar, okey lumayan ada usaha ibadah yah :

- QS : 25:59 ( Al Furqaan )
- QS : 32:4 ( As Sajdah )
- QS : 50:38 ( Qaaf )

lalu saya bilang YES masuk akal kan ?!


- Al Hijr Ayat 9 -

innaa nahnu nazzalnaa aldzdzikra wa-innaa lahu lahaafizhuuna

Artinya :

9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya


--

Surah Al-Hijr (bahasa Arab:?????, al-Hijr, "Al-Hijr") adalah surah ke-15 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 99 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Al-Hijr adalah nama sebuah daerah pegunungan yang didiami oleh kaum Tsamud pada zaman dahulu yang terletak di pinggir jalan antara Madinah dan Syam ( Syria ). Nama surah ini diambil dari nama daerah pegunungan itu, berhubung nasib penduduknya yaitu kaum Tsamud diceritakan pada ayat 80 sampai dengan 84, mereka telah dimusnahkan Allah, karena mendustakan Nabi Shaleh dan berpaling dari ayat-ayat Allah. Dalam surah ini terdapat juga kisah-kisah kaum yang lain yang telah dibinasakan oleh Allah seperti kaum Luth dan kaum Syu'aib . Surah ini juga mengandung pesan bahwa orang-orang yang menentang ajaran rasul-rasul akan mengalami kehancuran.

Nah sepertinya pembaca yang pemikirannya belum sampai akan mengkritik bahkan menghujat pemikiran saya ini, dari SUNDA malah NYAMBUNG ke AGAMA katanya, mungkin ini akan menjadi sensitif konten, Bagi pembaca yang masih mempunyai hati yang sehat dan open minded, pasti bisa menghormati hasil pemikiran orang lain, dengan kritikan yang membangun dan sama sama memberi masukan yang sehat.

Untuk banyak pembaca yang menanyakan sumber sumber nya nanti saya coba cantumkan yah, saya belum sempat input link sumber sumbernya, jika Anda penasaran coba Google aja yah terutama dari wikipedia,